"Pemilu tidak bersih!"

"Pemilu tidak bersih!". Wah ada apa? Jika pernyataan itu keluar dari mulut rakyat kecil di warung kopi barangkali sudah biasa. Namun bagaimana jika pernyataan itu terlontar dari mulut seorang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD?

Beberapa hari yang lalu, Mahfud MD memang mengeluarkan pernyataan yang berbunyi, "Anda jangan mimpi bahwa pemilu itu akan bersih 100 persen, kapan pun dan di mana pun. Pasti ada satu atau dua, maka di undang-undang itu disebut, pelanggaran yang signifikan terhadap angka", sebagaimana dikutip dari berita online, okezone.com (11/7/2011).
Kecurangan pemilu sendiri sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Masyarakat sendiri menyaksikan dan merasakan kecurangan-kecurangan itu secara nyata. Para peserta pemilu yang kebetulan kalah pun juga kadang melaporkan adanya kecurangan dalam pemilu. Meski peserta yang kalah juga melakukan kecurangan. Singkatnya, kecurangan dalam pemilu sudah menjadi rahasia umum.

Pernyataan dari Mahfud MD sendiri dapatlah mempertegas bahwa pemilu lima tahunan selama ini jauh dari kejujuran dan kata bersih. Hanya sebuah mimpi, kata beliau, jika mengharap pemilu 100 persen bersih dan jujur. Sebabnya, kecurangan pemilu dilakukan oleh samua partai secara random.

Kecurangan pemilu yang umum terjadi dilakukan dengan memanipulasi daftar pemilih tetap, serangan fajar, hingga saat penghitungan suara. Kecurangan-kecurangan ini kerap terjadi baik pada pemilukada, maupun pemilu legislatif dan eksekutif tingkat nasional. Apalagi kasus pemalsuan keputusan MK yang terkuak belakangan ini kian menambah keraguan terhadap kualitas pemilu yang selama ini berlangsung.

Pemilu Demokrasi yang Korup

Dalam perpolitikan sekuler, kecurangan demi kecurangan yang ada dapat dikatakan hal yang wajar dan dimaklumi. Sebabnya sedikit sekali mengedepankan etika politik. Doktrin Machiaveli agar meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara masih menjadi acuan di alam perpolitikan sekuler. Tanpa terkecuali untuk memenangkan pemilu.
Apalagi dalam sistem demokrasi, biaya (modal) besar harus dikeluarkan oleh peserta pemilu jika ingin menang. Dari sinilah kemudian tunas korupsi mulai tumbuh. Biaya yang besar itu sendiri bisa diperoleh dari pemodal-pemodal dengan deal-deal tertentu kalau berhasil menang. Bahkan dari negara atau lembaga asing sekalipun, seperti desas-desus belakangan terkait Sri Mulyani.

Selanjutnya kalau berhasil menang, deal-deal atau proyek hitam pun disikat. Tak mengapa tidak amanah, toh itu akad dengan pemodal. Korupsi? Tak apa-apa haram, asalkan modal kampanye kembali. Lha gimana lagi kalau gaji selama lima tahun belum cukup kembalikan modal. Lho?

Ketidakjujuran selama pemilu pun berimbas ketika para pemenang pemilu menempati kursi pemerintahan. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para anggota legislatif dan kepala pemerintahan daerah menjadi buktinya. Peneliti korupsi politik ICW, Abdullah Dahlan mengungkapkan, kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi dalam suatu pembangunan proyek ini sudah dirancang atau 'by design' oleh partai politik.

Bagaimana output pemilu yang ada? Kontribusi 'orang-orang terpilih' yang disaring melalui pemilu bagi rakyat? Ternyata tidak juga menggembirakan. Dari gedung wakil rakyat misalnya, sejak era reformasi hingga sekarang telah lahir 76 undang-undang yang berlaku sekarang ternyata dibuat oleh konsultan asing seperti IMF, Bank Dunia dan USAID. Dengan kata lain, para anggota legislatif hanya tinggal setujui saja. Tidak sedikit dari peraturan dan UU yang dibuat kontrapoduktif dengan cita-cita negara. Bahkan hingga Juni kemarin ada sekitar 158 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi (antaranews, 25/6/2011)

Padahal dana pemilu menyita biaya yang begitu besar agar memiliki penyelenggara negara yang handal. Padahal rakyat pun sudah capek bergumul dengan problematika seperti kemiskinan, pengangguran, putus sekolah dsb. Tetapi ternyata? Pemilu dalam sistem demokrasi yang menagih biaya besarlah penyebabnya. Demokrasi seperti kata Samuel Huntington (1998) tidaklah selalu menjadi pilihan terbaik, karena ia dapat menimbulkan inefisiensi dan ketidakpastian.

Persoalannya adalah apakah kecurangan pemilu yang terjadi dimaklumi begitu saja? Sehingga jika ke depan kerap kali terulang, pemilu yang curang tetap (harus) dimaklumi (lagi). Kalau begitu bagaimana kita bisa memiliki penyelenggara negara yang amanah, bila dalam pemilunya saja sudah dipenuhi kecurangan. Padahal selama ini kita begitu mendambakan aparat-aparat pemerintahan yang kapabel, dan amanah.

Pemilu memang tidak masalah, tetapi orientasi 'haus kekuasaan' itulah yang menjadi penyebabnya. Sekali lagi, kita tidak menyalahkan pemilu sebagai sebuah cara rekrutmen penyelenggara negara. Sebabnya dalam Islam pun mekanisme pemilihan/rekrutmen penyelenggara negara dengan pemilu juga ada.

Hal yang kita sayangkan adalah ketika kekuasaan dijadikan tujuan. Sehingga ketika duduk empuk di kursi kekuasaan, tugas mengurus rakyat pun terabaikan. Bahkan kekuasaan dapat membuat lupa diri, lupa rakyat, bahkan lupa iman. Sampai-sampai penjajahan gaya baru pun diperkenankan masuk dan mengobrak-abrik kedaulatan negara dari sebagaimana mestinya.

Para pembaca tentu pernah mendengar jingle iklan sebuah deterjen yang berbunyi "Kotor itu baik". Tentu kedengaran konyolnya ketika menilai pemilu yang tidak bersih dengan mengatakan "Pemilu tidak bersih itu baik". Sangat miris sekali.

Bagaimana juga, (kecurangan) pemilu tidak lepas dari sistem demokrasi yang berlaku sekarang. Menarik melihat pertanyaan mendiang Ignatius Wibowo mengenai demokrasi. Beliau meragukan validitas teori bahwa demokrasi adalah penyelamat segala bentuk kebobrokan di Indonesia saat ini pun patut diperhatikan oleh semua pihak. Bahkan ungkap Ignatius, demokrasi malah memunculkan masalah baru yang sebelumnya tidak pernah ada seandainya demokrasi tidak diterapkan.

Apalah ternyata, demokrasi yang digadang-gadang mampu menjadi solusi ternyata tidak manjur. Bahkan jauh panggang dari api. Demokrasi tidak mampu menjembatani negeri ini ke cita-citanya: mensejahterakan rakyat dan melindungi negara dari penjajahan yang dalam bahasa BJ. Habibie, 'VOC berbaju baru'. (Fadlan Hidayat)

mhd khairuddin

BASMI KORUPSI


Dari mana harus dimulai? Jika pertanyaan ini diajukan kepada seorang sosiolog yang menekuni masalah-masalah patologi sosial, jawabnya sama seperti yang diberikan oleh dokter dalam menghadapi pasiennya.
Korupsi dan derivatifnya—kolusi, nepotisme, despotisme—adalah penyakit masyarakat. Oleh karena itu harus dimulai dengan melakukan diagnosis, yaitu mencari penyebab dari penyakit itu. Jika penyebabnya sudah ditemukan, penyebabnya itulah yang diangkatkan melalui terapi-terapi penyembuhan dan dengan resep obat-obat yang tepat.
Pertanyaan, dapatkah korupsi sebagai penyakit masyarakat itu diangkat? Jawabnya, sama seperti dokter menjawab pertanyaan pasiennya: Insya Allah, dapat! Kecuali kalau penyakitnya sudah lajat, sudah sangat payah, memang tidak bisa disembuhkan lagi. Yang ditunggu adalah kematian. Bukankah kematian masyarakat akibat korupsi sudah kita temukan di mana-mana dalam lembaran sejarah? Kuburannya pun bertebaran di mana-mana.
Memang, penyakit masyarakat bernama ”korupsi” itu telah ada sejak manusia ada. Secara potensial inheren ada pada tiap manusia. Namun, manusia itu disebut manusia karena dia berusaha melawan dan memerangi sifat-sifat buruk (sayyiah), jelek (lawwamah), dan kesetanan (syaithaniyyah)-nya dengan petunjuk-petunjuk Ilahi dan akal sehatnya. Itu sebabnya, dalam Islam, keimanan dan ketakwaan harus senantiasa diperbarui dan diperkuat. Perjalanan hidup seseorang tak pernah berupa garis lurus yang terus menanjak atau terus menurun, tetapi keduanya. Itu sebabnya kenapa ada orang yang pada mulanya baik, lurus, jujur, tidak korupsi, tetapi akhirnya jelek dan menjadi koruptor besar. Begitu juga sebaliknya.
Karena itu, dari segi pendekatan psikoteologis dan dari tinjauan mikrokosmis ini, penyembuhan penyakit korupsi dan antek-anteknya—betapapun luas dan meruyaknya—harus dimulai dari diri.
Pendekatan bersifat kejiwaan yang dimulai dari diri, bagaimanapun, harus dilakukan karena yang sakit itu sesungguhnya adalah jiwa. Penyakit jiwa terapinya terutama agama. Tak ada terapi kejiwaan yang lebih ampuh dan lebih menyentuh kecuali pendekatan kejiwaan bernuansa keagamaan. Dalam psiko-terapi yang bernuansa keagamaan, manusia yang telah terputus talinya dengan Sang Penciptanya dihubungkan kembali sehingga dia merasakan ada pihak lain selain dirinya yang akan membantu dia, yaitu Sang Pencipta.
Multilevel dan Multifaset
Bagaimanapun, manusia tidak sendiri hidup di dunia ini. Dia tak akan survive dan ada kalau tak ada manusia lain bersamanya. Di tengah-tengah masyarakat inilah dia hidup. Korupsi itu ada dan baru ada ketika dia hidup bersama masyarakatnya.
Pada dimensi bersifat makrokosmis yang berorientasi kemasyarakatan ini, maka korupsi yang tadinya bersifat individual sekarang juga bersifat sosial, bahkan kultural. Sekarang kaitannya tak hanya pada diri orang per orang, juga pada sistem yang berlaku dan corak kebudayaan yang dianut. Ini yang membedakan ada masyarakat yang bisa mengendalikan laju fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme itu, dan ada yang terbawa hanyut karenanya.
Fenomena korupsi ini pada analisis pertama bisa dibagi dua menurut corak sistem, lembaga, dan budaya yang berlaku. Pertama, bercorak demokratis, egaliter, dan menempatkan hukum berdiri di atas penguasa. Kedua, bercorak feodalistis, hierarkis, dan menempatkan penguasa berdiri di atas hukum. Secara hipotetis dikatakan: yang pertama laju korupsinya rendah dan terkendali, yang kedua laju korupsinya tinggi dan tak terkendali.
Bukti historis-empirik dan aktual dari negara-negara yang melaksanakan corak pertama ada di mana-mana. Begitu pun contoh corak kedua. Negara-negara terbelakang dan dunia ketiga yang sedang bergulat menyelesaikan dirinya dan yang telah melewati puncak perkembangan dan kemajuannya relatif akut korupsi, kolusi dan nepotismenya. Sementara negara-negara maju yang demokratis, terbuka, dan menempatkan hukum di atas semua orang dan semua kepentingan umumnya KKN- nya—kalau ada—terkendali dan rata-rata di bawah ambang toleransi.
Sekarang ke pangkal kaji: dapatkah semua ini dihapus? Kalau dapat, dari mana harus dimulai? Tentu saja dapat kalau memang kita mau menghapusnya! Semua itu lalu harus dimulai dengan azam yang kuat, dengan tekad dan iktikad yang bulat dan menyatakan perang sampai ke akar-akarnya. Niat dan azam yang kuat ini tentu harus dibarengi perbuatan nyata yang konkret dan terprogram. Pendekatannya pun harus bersifat multifaset, multilevel, dan terpadu secara berkesinambungan.
Sedikitnya ada empat pendekatan multilevel yang secara serempak dan terpadu harus dilakukan: pendekatan struktural-sistemik, pendekatan kultural, pendekatan keagamaan, dan pendekatan suri teladan dari para pemimpin.
Dengan pendekatan struktural-sistemik berarti semua perangkat hukum dan pelembagaan dalam rangka pemberantasan korupsi harus disiapkan. Undang-undang yang dikeluarkan harus bersanksi berat. Adapun yang dikejar dengan cara capital punishment ini: pelajaran bagi khalayak ramai agar tidak mencoba-coba melakukannya.
Di balik semua perangkat hukum ini tentu saja adalah perlakuan hukum yang sama dan tidak memihak. Hukum harus ditempatkan di atas semua orang, golongan, dan kepentingan tanpa pilih kasih. Jika ini berjalan, korupsi dan tindak kejahatan lain apa pun akan berkurang.
Hukum juga akan berjalan secara efektif jika sistem kontrol yang bersifat timbal balik dihidupkan kembali. Prinsip trias politika adalah sebuah keniscayaan yang mau tak mau memang harus dihidupkan dan diberlakukan kembali. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di samping setara juga harus bersifat saling mengontrol dan saling mengingatkan.
Pendekatan Kultural
Pendekatan kultural tak kalah penting dalam upaya menghapus korupsi secara tuntas dan total. Seperti dimaklumi, penyebab utama maraknya KKN di bumi Indonesia—terutama selama Orde Baru dan Lama—adalah karena kita kembali ke dunia lama kita yang sesungguhnya sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan hidup sekarang. Penghalang utama adalah kultur bangsa kita sendiri yang selama berabad- abad hidup secara akrab dengan korupsi, kolusi dan nepotisme itu.
Peranan sebagai perantara yang dimainkan oleh kelompok keturunan asing, khususnya China, dalam perdagangan untuk kepentingan keraton berlanjut sampai hari ini dalam jumlah dan skala yang makin besar. Kehidupan para priayi yang lebih memilih hidup senang tanpa berpayah-payah telah menyebabkan kolusi dan nepotisme menjadi bagian tak terpisahkan, bahkan telah membudaya dari kehidupan feodal di bumi Indonesia.
Dengan pendekatan kultural, struktur pemerintahan dan kekuasaan yang dijiwai oleh semangat feodalisme itu harus dikikis habis. Kita harus menyatakan perang terhadap feodalisme dan nepotisme itu sendiri. Dengan memberlakukan dan menggantikannya dengan sistem demokrasi, di mana rakyat yang berdaulat—bukan raja atau presiden—maka feodalisme dan nepotisme yang telah berurat berakar itu diharapkan akan hapus pada waktunya.
Lalu, seperti telah disinggung di atas, pendekatan agama. Apa pun corak pendekatan yang dilakukan—struktural-sistemik, hukum, kelembagaan dan kebudayaan—jika tak dijiwai semangat keagamaan, orang hanya takut korupsi karena ada undang-undang, ada polisi, dan ada sanksi hukum yang sifatnya formal. Semua itu, seperti selama ini, bisa dibeli dan dikelabui. Adapun yang bisa menahan diri kita untuk tidak korupsi yang ternyata jauh lebih efektif justru adalah pertahanan yang ada dalam diri sendiri. 
Pertahanan itu namanya agama, walau yang keluar dalam bentuk norma, sikap, dan perilaku. Melalui ajaran-ajaran keagamaan ini, orang lalu tertahan untuk melakukan apa-apa yang tidak baik dan menyalahi hukum. Sanksi agama yang melekat dalam diri orang per orang bisa lebih ampuh dan lebih efektif daripada sanksi hukum mana pun. Praktik puasa hanyalah satu contoh betapa tanpa dilihat oleh siapa pun orang tak akan makan-minum yang membatalkan puasa.
Komponen keempat, walau bukan yang terakhir, teladan yang baik dari para pemimpin. Adagium dalam Islam, ”mulailah dari dirimu sendiri”, sangat tepat dan berlaku dalam contoh keteladanan ini. Apatah lagi dalam Islam tiap orang adalah pemimpin, dan pemimpin itu bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.
Namun, kombinasi dari semua ini secara terpadu, multilevel, dan multifaset tentu lebih menjamin terkikis habisnya praktik dan budaya korupsi di bumi Indonesia. Jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh, seperti yang kita lihat dengan contoh teladan dari negeri-negeri jiran, dalam satu generasi yang sama sudah akan terlihat buktinya. Mochtar Naim ;Sosiolog

mhd khairuddin

Panwas Palembang Tugas Mendesak Bawaslu Sumsel Terpilih

Palembang - Sebanyak tiga Komisioner Bawaslu Provinsi Sumsel yang terpilih yakni Andika Pranata Jaya, Kurniawan dan Zulfikar hari ini dilantik oleh Bawaslu RI di Jakarta.

Salah satu komisioner Bawaslu Sumsel, Andika Pranata Jaya ketika dimintai tanggapan terkait belum terbentuknya panwaslu Kota Palembang padahal tahapan pemilukada sudah berjalan mengatakan rekrutmen atau proses pemilihan panwaslu kota Palembang memang menjadi pekerjaan rumah bagi Bawaslu Sumsel. Namun, pihaknya juga masih menunggu petunjuk dari Bawaslu Pusat.

"Hari ini kami baru dilantik sehingga belum bisa bekerja penuh dan selain itu masih menunggu petunjuk dari Bawaslu Pusat. Untuk Panwaslu, sudah ada lima kabupaten/kota lainnya seperti Lubuklinggau, Pagaralam, Prabumulih, Lahat, dan Muaraenim yang sudah terbentuk, sehingga untuk Palembang akan menjadi pekerjaan rumah kita." katanya.

Andika melanjutkan memang sudah ada surat dari KPU Kota Palembang ke Bawaslu Pusat terkait pembentukan panwaslu Kota Palembang. Untuk itu pihaknya akan segera lakukan koordinasi dengan Bawaslu.

"Memang sudah ada surat dari KPU Kota Palembang ke Bawaslu Pusat, kita akan koordinasi dulu untuk tahu seperti apa rekomendasi Bawaslu Pusat." jelasnya.

Menurut Andika, setelah bintek di Jakarta pihaknya akan secepat mengkin bekerja termasuk pembentukan panwaslu Kota Palembang.

"Mudah-mudahan sesegera mungkin, begitu kita selesai bintek di Jakarta, kita secepat mungkin akan lakukan pemilihan panwaslu Sumsel.

Andika mengungkapkan selama Panwaslu kota Palembang belum terbentuk maka tugas pengawasan tahapan pemilukada kota Palembang akan dilakuka langsung oleh Bawaslu Sumsel.

"Selama Panwaslu Palembang belum terbentuk, Bawaslu Sumsel akan lakukan pengawasan itu." ungkapnya (http://sindoradio.com)

mhd khairuddin

PENGUMUMAN PENDAFTARAN CALON ANGGOTA PANWASLU KABUPATEN/KOTA DALAM PROVINSI SUMATERA SELATAN

http://www.bawaslu.go.id

Dalam rangka pembentukan Panwaslu di 11 (sebelas) Kabupaten/Kota dalam  Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Kota Palembang, Kab. Musi Banyuasin, Kab. Banyuasin, Kab. Ogan Ilir, Kab. OKI, Kab. OKU, Kab. OKU Timur, Kab. OKU Selatan, Kab. Lahat, Kab. Empat Lawang, dan Kab. Musi Rawas, maka Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan atas kewenangan yang diberikan oleh Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2011  tentang Penyelenggara  Pemilihan Umum dan Keputusan Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan, membuka kesempatan bagi semua pihak yang memenuhi persyaratan untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota Panwaslu di 11 (sebelas) Kabupaten/Kota dalam Provinsi Sumatera Selatan.

Kecurangan Pemilu "Waspadalah"

Kecurangan Pemilu 

"Waspadalah"



Dalam pemilu, antusiasme pendukung / pemilih calon tertentu kadang “dibunuh” begitu saja oleh praktek kotor kecurangan pemilu. Karena itu peran para saksi , pemantau pemilu maupun warga umumnya menjadi sangat penting. Warga sebaiknya tidak sekedar mencoblos lalu selesai, tetapi hadir juga pada saat penghitungan suara. Berikut beberapa modus kecurangan pemilu yang musti diwaspadai :

1. Politik Uang
Ini bisa berupa serangan fajar, kunjungan malam hari atau dibayar setelah mencoblos di TPS. Sebaiknya bila Anda mendapat iming-iming uang ditolak saja. Bila nanti ada yang melaporkan, maka baik pemberi maupun penerima bisa kena sanksi hukum. Sebaliknya juga ketika Anda melihat praktek politik uang, laporkan ke Panwaslu di TPS/Kelurahan. Kalau Anda suka mengutuk anggota DPR, pejabat pemerintahan yang korupsi di televisi, maka jangan ikut-ikutan seperti mereka.

2. Tidak Terima Surat Undangan
Kalau Anda punya KTP dan belum mendapat surat undangan atau kartu pemilih, silakan datang saja ke TPS terdekat. Anda bisa cek dimana TPS nama Anda. Bila Anda sudah terdaftar sebagai pemilih, tetapi tidak menerima kartu pemilih, tetap berhak memilih di TPS dengan membawa KTP. Praktek menahan atau tidak mengirimkan  surat undangan/kartu pemilih pada orang-orang yang diindentifikasi lawan politik adalah sering terjadi. Maka jangan sampai hak politik Anda dihilangkan oleh praktek-praktek semacam ini.

3. Pemilih Ganda
Dalam beberapa pemilu, kadang tim sukses calon menggunakan pemilih siluman atau pemilih berulang kali coblos. Di sini pentingnya saksi dari masing-masing calon, untuk mengecek kualitas tinta, apakah bisa dihilangkan dengan mudah atau tidak (bisa jadi tinta dari KPUD ditukar). Juga mengecek daftar hadir, bahwa yang hadir sesuai undangan atau ada tambahan pemilih dari wilayah lain.

4. Pengrusakan Surat Suara
Praktek ini biasa dilakukan terhadap surat suara dari pihak lawan politik, dirusak misalnya dengan kuku jari ketika membuka lembaran suara. Ini sangat tergantung orientasi politik dari KPPS atau petugas TPS setempat. Setiap orang boleh saja punya sikap politik, tetapi sebagai petugas TPS tidak boleh berbuat curang. Maka tugas saksi maupun warga (penonton) untuk benar-benar mengawasi ketika petugas membuka lembaran surat suara.

5. Manipulasi Hasil Suara
Nah, ini yang sering terjadi, karena manipulasi suara dapat dilakukan di beberapa tahap. Misalnya ketika penghitungan suara di papan selesai dan akan direkap pada formulir C1, ada peluang dimanipulasi angkanya. Maka saksi maupun warga yang menonton mesti perhatikan benar ketika direkap (biasanya di akhir penghitungan energinya sudah capek, konsentrasi berkurang, ini peluang untuk manipulasi). Peluang berikutnya adalah manipulasi ketika penghitungan ulang/rekap ulang di kelurahan. DI sini saksi dari masing-masing calon mesti hadir untuk mengawal prosesnya. Perjalanan berikutnya adalah ketika rekap suara di tingkat kecamatan, kota maupun KPUD, dimungkinkan juga pengurangan atau penambahan suara pada calon tertentu. Tetapi ini bisa diminimalisir ketika setiap saksi memegang C1 atau berita acara maupun mengawal prosesnya sampai ke KPUD. (

Mhd Khairuddin

REKRUTMEN KPU-BAWASLU

REKRUTMEN KPU-BAWASLU


JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengikuti seleksi pemilihan calon penyelenggara pemilu untuk periode 2012-2017, gagal dalam seleksi tahap kedua.

Dalam pengumuman hasil seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu yang disampaikan Tim Seleksi, di Jakarta, Senin (6/2), nama-nama anggota KPU yang mengikuti seleksi seperti I Gusti Putu Artha, Saut Sirait, dan Sri Nuryanti, tidak masuk dalam daftar nama-nama calon yang lolos seleksi tahap kedua.
Selain itu, sejumlah anggota Bawaslu yang juga mengikuti seleksi seperti Bambang Eka Cahya Widodo yang merupakan Ketua Bawaslu, Nur Hidayat Sardini, Wahidah Suaib, dan Agustiani Tio Fridelina Sitorus, juga tak lolos.
Soal alasan anggota KPU dan Bawaslu tersebut tidak lolos, anggota Timsel Ramlan Surbakti menjelaskan, itu disebabkan mereka tak memenuhi syarat integritas, atau kesehatan, atau psikologi.
Ketika ditanya lebih lanjut soal syarat integritas yang dimaksud, Ramlan menjelaskan penilaian terhadap integritas terkait kejujuran, ketaatan pada hukum, dan konsisten. "Setiap orang lain-lain alasannya sehingga tidak lolos. Ini kita lihat secara individual, kita tidak mengelompokkan `incumbent` dan tidak `incumbent`," katanya.
Menambahkan penjelasan Ramlan, anggota Tim Seleksi Anies Baswedan mengatakan, dalam proses penilaian, tim melakukan penilaian secara objektif dan sama untuk setiap peserta, tidak dibeda-bedakan antara calon yang merupakan penyelenggara pemilu atau tidak.
Anggota timsel lainnya Saldi Isra, mengatakan, tim melakukan penilaian akumulasi dari seleksi tahap kedua berupa tes tertulis, kesehatan, dan psikologi ditambah dengan penilaian makalah personal, rekam jejak, serta masukan dari masyarakat.
"Kita di timsel posisinya berdasarkan kriteria, tidak ada urusan dengan `incumbent` atau tidak," katanya.
Calon Lolos
Sementara itu, Timsel mengumumkan total 48 calon lolos, yakni anggota KPU 30 orang dan Bawaslu 18 orang. Para peserta yang lolos, selanjutnya mengikuti tes wawancara yang akan diselenggarakan pada 13 sampai 18 Februari 2012.
Timsel akan memilih 10 nama calon anggota Bawaslu dan 14 nama calon anggota KPU terbaik dari hasil seleksi untuk diserakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Februari 2012.
Kemudian, Presiden akan menyampaikan nama-nama calon tersebut ke DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Proses pemilihan di DPR dijadwalkan selama satu bulan, yakni Maret 2012.
Pada awal April diharapkan DPR telah menyampaikan nama-nama KPU dan Bawaslu terpilih kepada Presiden, untuk kemudian dilantik pada 9 April 2012.
Ramlan Surbakti mengatakan, untuk sampai pada keputusan menetapkan 18 nama calon anggota Bawaslu yang lolos seleksi tahap kedua ini, tidak mudah.
Sebelumnya, pada 17 Januari, calon anggota KPU dan Bawaslu menjalani tes tertulis tentang kepemiluan, dilanjutkan dengan tes kesehatan dan psikologi. Para calon juga diharuskan menulis makalah pribadi yang menjadi bahan penilaian bagi Timsel.
"Kami sampai pada keputusan yang tidak mudah. Untuk Bawaslu, dari 61 peserta yang mengikuti seleksi, yang lolos 18 orang dimana 5 orang di antaranya adalah perempuan," kata Ramlan.
Sementara itu, nama-nama calon anggota Bawaslu yang lolos seleksi tahap kedua yakni Muhammad, Ardyan, Endang Wihdatiningtyas, Mahi M. Hikmat, A. Heri Joko Setyo, Daniel Zuchron, Razaki Persada, Agus Triyatno, dan Nelson Simanjuntak.
Selanjutnya, Sunny Ummul Firdaus, Nasrullah, Unang Margana, Refly Harun, Den Yealta, Pramono Ubaid Tantowi, Pipit Apriani, Ratna Mulya Madurani, dan Luky Djuniardi Djani. (Tri Handayani)

mhd khairuddin