"Pemilu tidak bersih!". Wah ada apa? Jika pernyataan itu keluar dari
mulut rakyat kecil di warung kopi barangkali sudah biasa. Namun
bagaimana jika pernyataan itu terlontar dari mulut seorang Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD?
Beberapa hari yang lalu,
Mahfud MD memang mengeluarkan pernyataan yang berbunyi, "Anda jangan
mimpi bahwa pemilu itu akan bersih 100 persen, kapan pun dan di mana
pun. Pasti ada satu atau dua, maka di undang-undang itu disebut,
pelanggaran yang signifikan terhadap angka", sebagaimana dikutip dari
berita online, okezone.com (11/7/2011).
Kecurangan pemilu sendiri
sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Masyarakat sendiri menyaksikan
dan merasakan kecurangan-kecurangan itu secara nyata. Para peserta
pemilu yang kebetulan kalah pun juga kadang melaporkan adanya kecurangan
dalam pemilu. Meski peserta yang kalah juga melakukan kecurangan.
Singkatnya, kecurangan dalam pemilu sudah menjadi rahasia umum.
Pernyataan
dari Mahfud MD sendiri dapatlah mempertegas bahwa pemilu lima tahunan
selama ini jauh dari kejujuran dan kata bersih. Hanya sebuah mimpi, kata
beliau, jika mengharap pemilu 100 persen bersih dan jujur. Sebabnya,
kecurangan pemilu dilakukan oleh samua partai secara random.
Kecurangan
pemilu yang umum terjadi dilakukan dengan memanipulasi daftar pemilih
tetap, serangan fajar, hingga saat penghitungan suara.
Kecurangan-kecurangan ini kerap terjadi baik pada pemilukada, maupun
pemilu legislatif dan eksekutif tingkat nasional. Apalagi kasus
pemalsuan keputusan MK yang terkuak belakangan ini kian menambah
keraguan terhadap kualitas pemilu yang selama ini berlangsung.
Pemilu Demokrasi yang Korup
Dalam
perpolitikan sekuler, kecurangan demi kecurangan yang ada dapat
dikatakan hal yang wajar dan dimaklumi. Sebabnya sedikit sekali
mengedepankan etika politik. Doktrin Machiaveli agar meraih dan
mempertahankan kekuasaan dengan segala cara masih menjadi acuan di alam
perpolitikan sekuler. Tanpa terkecuali untuk memenangkan pemilu.
Apalagi
dalam sistem demokrasi, biaya (modal) besar harus dikeluarkan oleh
peserta pemilu jika ingin menang. Dari sinilah kemudian tunas korupsi
mulai tumbuh. Biaya yang besar itu sendiri bisa diperoleh dari
pemodal-pemodal dengan deal-deal tertentu kalau berhasil menang. Bahkan
dari negara atau lembaga asing sekalipun, seperti desas-desus belakangan
terkait Sri Mulyani.
Selanjutnya kalau berhasil menang,
deal-deal atau proyek hitam pun disikat. Tak mengapa tidak amanah, toh
itu akad dengan pemodal. Korupsi? Tak apa-apa haram, asalkan modal
kampanye kembali. Lha gimana lagi kalau gaji selama lima tahun belum
cukup kembalikan modal. Lho?
�
Ketidakjujuran selama pemilu pun
berimbas ketika para pemenang pemilu menempati kursi pemerintahan.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para anggota legislatif dan kepala
pemerintahan daerah menjadi buktinya. Peneliti korupsi politik ICW,
Abdullah Dahlan mengungkapkan, kasus-kasus korupsi yang melibatkan
politisi dalam suatu pembangunan proyek ini sudah dirancang atau 'by
design' oleh partai politik.
Bagaimana output pemilu yang ada?
Kontribusi 'orang-orang terpilih' yang disaring melalui pemilu bagi
rakyat? Ternyata tidak juga menggembirakan. Dari gedung wakil rakyat
misalnya, sejak era reformasi hingga sekarang telah lahir 76
undang-undang yang berlaku sekarang ternyata dibuat oleh konsultan asing
seperti IMF, Bank Dunia dan USAID. Dengan kata lain, para anggota
legislatif hanya tinggal setujui saja. Tidak sedikit dari peraturan dan
UU yang dibuat kontrapoduktif dengan cita-cita negara. Bahkan hingga
Juni kemarin ada sekitar 158 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi (antaranews, 25/6/2011)
Padahal dana
pemilu menyita biaya yang begitu besar agar memiliki penyelenggara
negara yang handal. Padahal rakyat pun sudah capek bergumul dengan
problematika seperti kemiskinan, pengangguran, putus sekolah dsb. Tetapi
ternyata? Pemilu dalam sistem demokrasi yang menagih biaya besarlah
penyebabnya. Demokrasi seperti kata Samuel Huntington (1998) tidaklah
selalu menjadi pilihan terbaik, karena ia dapat menimbulkan inefisiensi
dan ketidakpastian.
Persoalannya adalah apakah kecurangan pemilu
yang terjadi dimaklumi begitu saja? Sehingga jika ke depan kerap kali
terulang, pemilu yang curang tetap (harus) dimaklumi (lagi). Kalau
begitu bagaimana kita bisa memiliki penyelenggara negara yang amanah,
bila dalam pemilunya saja sudah dipenuhi kecurangan. Padahal selama ini
kita begitu mendambakan aparat-aparat pemerintahan yang kapabel, dan
amanah.
Pemilu memang tidak masalah, tetapi orientasi 'haus
kekuasaan' itulah yang menjadi penyebabnya. Sekali lagi, kita tidak
menyalahkan pemilu sebagai sebuah cara rekrutmen penyelenggara negara.
Sebabnya dalam Islam pun mekanisme pemilihan/rekrutmen penyelenggara
negara dengan pemilu juga ada.
Hal yang kita sayangkan adalah
ketika kekuasaan dijadikan tujuan. Sehingga ketika duduk empuk di kursi
kekuasaan, tugas mengurus rakyat pun terabaikan. Bahkan kekuasaan dapat
membuat lupa diri, lupa rakyat, bahkan lupa iman. Sampai-sampai
penjajahan gaya baru pun diperkenankan masuk dan mengobrak-abrik
kedaulatan negara dari sebagaimana mestinya.
Para pembaca tentu
pernah mendengar jingle iklan sebuah deterjen yang berbunyi "Kotor itu
baik". Tentu kedengaran konyolnya ketika menilai pemilu yang tidak
bersih dengan mengatakan "Pemilu tidak bersih itu baik". Sangat miris
sekali.
Bagaimana juga, (kecurangan) pemilu tidak lepas dari
sistem demokrasi yang berlaku sekarang. Menarik melihat pertanyaan
mendiang Ignatius Wibowo mengenai demokrasi. Beliau meragukan validitas
teori bahwa demokrasi adalah penyelamat segala bentuk kebobrokan di
Indonesia saat ini pun patut diperhatikan oleh semua pihak. Bahkan
ungkap Ignatius, demokrasi malah memunculkan masalah baru yang
sebelumnya tidak pernah ada seandainya demokrasi tidak diterapkan.
Apalah
ternyata, demokrasi yang digadang-gadang mampu menjadi solusi ternyata
tidak manjur. Bahkan jauh panggang dari api. Demokrasi tidak mampu
menjembatani negeri ini ke cita-citanya: mensejahterakan rakyat dan
melindungi negara dari penjajahan yang dalam bahasa BJ. Habibie, 'VOC
berbaju baru'. (Fadlan Hidayat)
mhd khairuddin
"Pemilu tidak bersih!"
BASMI KORUPSI
Dari mana harus dimulai?
Jika pertanyaan ini diajukan kepada seorang sosiolog yang menekuni
masalah-masalah patologi sosial, jawabnya sama seperti yang diberikan oleh
dokter dalam menghadapi pasiennya.
Korupsi dan
derivatifnya—kolusi, nepotisme, despotisme—adalah penyakit masyarakat. Oleh
karena itu harus dimulai dengan melakukan diagnosis, yaitu mencari penyebab
dari penyakit itu. Jika penyebabnya sudah ditemukan, penyebabnya itulah yang
diangkatkan melalui terapi-terapi penyembuhan dan dengan resep obat-obat yang
tepat.
Pertanyaan, dapatkah korupsi
sebagai penyakit masyarakat itu diangkat? Jawabnya, sama seperti dokter
menjawab pertanyaan pasiennya: Insya Allah, dapat! Kecuali kalau penyakitnya
sudah lajat, sudah sangat payah, memang tidak bisa disembuhkan lagi. Yang
ditunggu adalah kematian. Bukankah kematian masyarakat akibat korupsi sudah
kita temukan di mana-mana dalam lembaran sejarah? Kuburannya pun bertebaran di
mana-mana.
Memang, penyakit masyarakat
bernama ”korupsi” itu telah ada sejak manusia ada. Secara potensial inheren ada
pada tiap manusia. Namun, manusia itu disebut manusia karena dia berusaha
melawan dan memerangi sifat-sifat buruk (sayyiah),
jelek (lawwamah), dan kesetanan
(syaithaniyyah)-nya dengan petunjuk-petunjuk Ilahi dan akal sehatnya. Itu sebabnya, dalam Islam, keimanan dan
ketakwaan harus senantiasa diperbarui dan diperkuat. Perjalanan hidup seseorang
tak pernah berupa garis lurus yang terus menanjak atau terus menurun, tetapi
keduanya. Itu sebabnya kenapa ada orang yang pada mulanya baik, lurus, jujur,
tidak korupsi, tetapi akhirnya jelek dan menjadi koruptor besar. Begitu juga
sebaliknya.
Karena itu, dari segi
pendekatan psikoteologis dan dari tinjauan mikrokosmis ini, penyembuhan
penyakit korupsi dan antek-anteknya—betapapun luas dan meruyaknya—harus dimulai
dari diri.
Pendekatan bersifat kejiwaan
yang dimulai dari diri, bagaimanapun, harus dilakukan karena yang sakit itu
sesungguhnya adalah jiwa. Penyakit jiwa terapinya terutama agama. Tak ada
terapi kejiwaan yang lebih ampuh dan lebih menyentuh kecuali pendekatan
kejiwaan bernuansa keagamaan. Dalam psiko-terapi yang bernuansa keagamaan,
manusia yang telah terputus talinya dengan Sang Penciptanya dihubungkan kembali
sehingga dia merasakan ada pihak lain selain dirinya yang akan membantu dia,
yaitu Sang Pencipta.
Multilevel dan Multifaset
Bagaimanapun, manusia tidak
sendiri hidup di dunia ini. Dia tak akan survive
dan ada kalau tak ada manusia lain bersamanya. Di tengah-tengah masyarakat
inilah dia hidup. Korupsi itu ada dan baru ada ketika dia hidup bersama masyarakatnya.
Pada dimensi bersifat
makrokosmis yang berorientasi kemasyarakatan ini, maka korupsi yang tadinya
bersifat individual sekarang juga bersifat sosial, bahkan kultural. Sekarang
kaitannya tak hanya pada diri orang per orang, juga pada sistem yang berlaku dan corak kebudayaan yang dianut. Ini yang membedakan ada
masyarakat yang bisa mengendalikan laju fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme
itu, dan ada yang terbawa hanyut karenanya.
Fenomena korupsi ini pada
analisis pertama bisa dibagi dua menurut corak sistem, lembaga, dan budaya yang
berlaku. Pertama, bercorak demokratis, egaliter, dan menempatkan hukum berdiri
di atas penguasa. Kedua, bercorak feodalistis, hierarkis, dan menempatkan
penguasa berdiri di atas hukum. Secara hipotetis dikatakan: yang pertama laju
korupsinya rendah dan terkendali, yang kedua laju korupsinya tinggi dan tak
terkendali.
Bukti historis-empirik dan
aktual dari negara-negara yang melaksanakan corak pertama ada di mana-mana.
Begitu pun contoh corak kedua. Negara-negara terbelakang dan dunia ketiga yang
sedang bergulat menyelesaikan dirinya dan yang telah melewati puncak
perkembangan dan kemajuannya relatif akut korupsi, kolusi dan nepotismenya.
Sementara negara-negara maju yang demokratis, terbuka, dan menempatkan hukum di
atas semua orang dan semua kepentingan umumnya KKN- nya—kalau ada—terkendali
dan rata-rata di bawah ambang toleransi.
Sekarang ke pangkal kaji:
dapatkah semua ini dihapus? Kalau dapat, dari mana harus dimulai? Tentu saja
dapat kalau memang kita mau menghapusnya! Semua itu lalu harus dimulai dengan
azam yang kuat, dengan tekad dan iktikad yang bulat dan menyatakan perang
sampai ke akar-akarnya. Niat dan azam yang kuat ini tentu harus dibarengi
perbuatan nyata yang konkret dan terprogram. Pendekatannya pun harus bersifat multifaset, multilevel, dan terpadu
secara berkesinambungan.
Sedikitnya ada empat
pendekatan multilevel yang secara serempak dan terpadu harus dilakukan:
pendekatan struktural-sistemik, pendekatan kultural, pendekatan keagamaan, dan
pendekatan suri teladan dari para pemimpin.
Dengan pendekatan
struktural-sistemik berarti semua perangkat hukum dan pelembagaan dalam rangka
pemberantasan korupsi harus disiapkan. Undang-undang yang dikeluarkan harus
bersanksi berat. Adapun yang dikejar dengan cara capital punishment ini:
pelajaran bagi khalayak ramai agar tidak mencoba-coba melakukannya.
Di balik semua perangkat
hukum ini tentu saja adalah perlakuan hukum yang sama dan tidak memihak. Hukum
harus ditempatkan di atas semua orang, golongan, dan kepentingan tanpa pilih
kasih. Jika ini berjalan, korupsi dan tindak kejahatan lain apa pun akan
berkurang.
Hukum juga akan berjalan
secara efektif jika sistem kontrol yang bersifat timbal balik dihidupkan
kembali. Prinsip trias politika
adalah sebuah keniscayaan yang mau tak mau memang harus dihidupkan dan
diberlakukan kembali. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di samping
setara juga harus bersifat saling mengontrol dan saling mengingatkan.
Pendekatan Kultural
Pendekatan kultural tak
kalah penting dalam upaya menghapus korupsi secara tuntas dan total. Seperti
dimaklumi, penyebab utama maraknya KKN di bumi Indonesia—terutama selama Orde
Baru dan Lama—adalah karena kita kembali ke dunia lama kita yang sesungguhnya
sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan hidup sekarang. Penghalang utama adalah
kultur bangsa kita sendiri yang selama berabad- abad hidup secara akrab dengan
korupsi, kolusi dan nepotisme itu.
Peranan sebagai perantara
yang dimainkan oleh kelompok keturunan asing, khususnya China, dalam perdagangan
untuk kepentingan keraton berlanjut sampai hari ini dalam jumlah dan skala yang
makin besar. Kehidupan para priayi yang lebih memilih hidup senang tanpa
berpayah-payah telah menyebabkan kolusi dan nepotisme menjadi bagian tak
terpisahkan, bahkan telah membudaya dari kehidupan feodal di bumi Indonesia.
Dengan pendekatan kultural,
struktur pemerintahan dan kekuasaan yang dijiwai oleh semangat feodalisme itu
harus dikikis habis. Kita harus menyatakan perang terhadap feodalisme dan
nepotisme itu sendiri. Dengan memberlakukan dan menggantikannya dengan sistem
demokrasi, di mana rakyat yang berdaulat—bukan raja atau presiden—maka
feodalisme dan nepotisme yang telah berurat berakar itu diharapkan akan hapus
pada waktunya.
Lalu, seperti telah
disinggung di atas, pendekatan agama. Apa pun corak pendekatan yang
dilakukan—struktural-sistemik, hukum, kelembagaan dan kebudayaan—jika tak
dijiwai semangat keagamaan, orang hanya takut korupsi karena ada undang-undang,
ada polisi, dan ada sanksi hukum yang sifatnya formal. Semua itu, seperti
selama ini, bisa dibeli dan dikelabui. Adapun yang bisa menahan diri kita untuk
tidak korupsi yang ternyata jauh lebih efektif justru adalah pertahanan yang
ada dalam diri sendiri.
Pertahanan itu namanya agama, walau yang keluar dalam
bentuk norma, sikap, dan perilaku. Melalui ajaran-ajaran keagamaan ini, orang
lalu tertahan untuk melakukan apa-apa yang tidak baik dan menyalahi hukum.
Sanksi agama yang melekat dalam diri orang per orang bisa lebih ampuh dan lebih
efektif daripada sanksi hukum mana pun. Praktik puasa hanyalah satu contoh
betapa tanpa dilihat oleh siapa pun orang tak akan makan-minum yang membatalkan
puasa.
Komponen keempat, walau
bukan yang terakhir, teladan yang baik dari para pemimpin. Adagium dalam Islam,
”mulailah dari dirimu sendiri”, sangat tepat dan berlaku dalam contoh
keteladanan ini. Apatah lagi dalam Islam tiap orang adalah pemimpin, dan
pemimpin itu bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.
mhd khairuddin
Panwas Palembang Tugas Mendesak Bawaslu Sumsel Terpilih
Palembang - Sebanyak tiga Komisioner Bawaslu Provinsi
Sumsel yang terpilih yakni Andika Pranata Jaya, Kurniawan dan Zulfikar
hari ini dilantik oleh Bawaslu RI di Jakarta.
Salah satu komisioner Bawaslu Sumsel, Andika Pranata Jaya ketika dimintai tanggapan terkait belum terbentuknya panwaslu Kota Palembang padahal tahapan pemilukada sudah berjalan mengatakan rekrutmen atau proses pemilihan panwaslu kota Palembang memang menjadi pekerjaan rumah bagi Bawaslu Sumsel. Namun, pihaknya juga masih menunggu petunjuk dari Bawaslu Pusat.
"Hari ini kami baru dilantik sehingga belum bisa bekerja penuh dan selain itu masih menunggu petunjuk dari Bawaslu Pusat. Untuk Panwaslu, sudah ada lima kabupaten/kota lainnya seperti Lubuklinggau, Pagaralam, Prabumulih, Lahat, dan Muaraenim yang sudah terbentuk, sehingga untuk Palembang akan menjadi pekerjaan rumah kita." katanya.
Andika melanjutkan memang sudah ada surat dari KPU Kota Palembang ke Bawaslu Pusat terkait pembentukan panwaslu Kota Palembang. Untuk itu pihaknya akan segera lakukan koordinasi dengan Bawaslu.
"Memang sudah ada surat dari KPU Kota Palembang ke Bawaslu Pusat, kita akan koordinasi dulu untuk tahu seperti apa rekomendasi Bawaslu Pusat." jelasnya.
Menurut Andika, setelah bintek di Jakarta pihaknya akan secepat mengkin bekerja termasuk pembentukan panwaslu Kota Palembang.
"Mudah-mudahan sesegera mungkin, begitu kita selesai bintek di Jakarta, kita secepat mungkin akan lakukan pemilihan panwaslu Sumsel.
Andika mengungkapkan selama Panwaslu kota Palembang belum terbentuk maka tugas pengawasan tahapan pemilukada kota Palembang akan dilakuka langsung oleh Bawaslu Sumsel.
"Selama Panwaslu Palembang belum terbentuk, Bawaslu Sumsel akan lakukan pengawasan itu." ungkapnya (http://sindoradio.com)
mhd khairuddin
Salah satu komisioner Bawaslu Sumsel, Andika Pranata Jaya ketika dimintai tanggapan terkait belum terbentuknya panwaslu Kota Palembang padahal tahapan pemilukada sudah berjalan mengatakan rekrutmen atau proses pemilihan panwaslu kota Palembang memang menjadi pekerjaan rumah bagi Bawaslu Sumsel. Namun, pihaknya juga masih menunggu petunjuk dari Bawaslu Pusat.
"Hari ini kami baru dilantik sehingga belum bisa bekerja penuh dan selain itu masih menunggu petunjuk dari Bawaslu Pusat. Untuk Panwaslu, sudah ada lima kabupaten/kota lainnya seperti Lubuklinggau, Pagaralam, Prabumulih, Lahat, dan Muaraenim yang sudah terbentuk, sehingga untuk Palembang akan menjadi pekerjaan rumah kita." katanya.
Andika melanjutkan memang sudah ada surat dari KPU Kota Palembang ke Bawaslu Pusat terkait pembentukan panwaslu Kota Palembang. Untuk itu pihaknya akan segera lakukan koordinasi dengan Bawaslu.
"Memang sudah ada surat dari KPU Kota Palembang ke Bawaslu Pusat, kita akan koordinasi dulu untuk tahu seperti apa rekomendasi Bawaslu Pusat." jelasnya.
Menurut Andika, setelah bintek di Jakarta pihaknya akan secepat mengkin bekerja termasuk pembentukan panwaslu Kota Palembang.
"Mudah-mudahan sesegera mungkin, begitu kita selesai bintek di Jakarta, kita secepat mungkin akan lakukan pemilihan panwaslu Sumsel.
Andika mengungkapkan selama Panwaslu kota Palembang belum terbentuk maka tugas pengawasan tahapan pemilukada kota Palembang akan dilakuka langsung oleh Bawaslu Sumsel.
"Selama Panwaslu Palembang belum terbentuk, Bawaslu Sumsel akan lakukan pengawasan itu." ungkapnya (http://sindoradio.com)
mhd khairuddin
PENGUMUMAN PENDAFTARAN CALON ANGGOTA PANWASLU KABUPATEN/KOTA DALAM PROVINSI SUMATERA SELATAN
http://www.bawaslu.go.id
Dalam rangka pembentukan Panwaslu di 11 (sebelas) Kabupaten/Kota dalam Provinsi
Sumatera Selatan, yaitu Kota Palembang, Kab. Musi Banyuasin, Kab.
Banyuasin, Kab. Ogan Ilir, Kab. OKI, Kab. OKU, Kab. OKU Timur, Kab. OKU
Selatan, Kab. Lahat, Kab. Empat Lawang, dan Kab. Musi Rawas, maka
Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan atas kewenangan yang
diberikan oleh Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum dan Keputusan Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan, membuka
kesempatan bagi semua pihak yang memenuhi persyaratan untuk mendaftarkan
diri sebagai calon anggota Panwaslu di 11 (sebelas) Kabupaten/Kota
dalam Provinsi Sumatera Selatan.
Kecurangan Pemilu "Waspadalah"
Kecurangan Pemilu
"Waspadalah"
Dalam pemilu, antusiasme pendukung / pemilih
calon tertentu kadang “dibunuh” begitu saja oleh praktek kotor
kecurangan pemilu. Karena itu peran para saksi , pemantau pemilu maupun
warga umumnya menjadi sangat penting. Warga sebaiknya tidak sekedar
mencoblos lalu selesai, tetapi hadir juga pada saat penghitungan suara.
Berikut beberapa modus kecurangan pemilu yang musti diwaspadai :
1. Politik Uang
Ini bisa berupa serangan fajar,
kunjungan malam hari atau dibayar setelah mencoblos di TPS. Sebaiknya
bila Anda mendapat iming-iming uang ditolak saja. Bila nanti ada yang
melaporkan, maka baik pemberi maupun penerima bisa kena sanksi hukum.
Sebaliknya juga ketika Anda melihat praktek politik uang, laporkan ke
Panwaslu di TPS/Kelurahan. Kalau Anda suka mengutuk anggota DPR, pejabat
pemerintahan yang korupsi di televisi, maka jangan ikut-ikutan seperti
mereka.
2. Tidak Terima Surat Undangan
Kalau Anda punya KTP dan
belum mendapat surat undangan atau kartu pemilih, silakan datang saja ke
TPS terdekat. Anda bisa cek dimana TPS nama Anda. Bila Anda sudah
terdaftar sebagai pemilih, tetapi tidak menerima kartu pemilih, tetap
berhak memilih di TPS dengan membawa KTP. Praktek menahan atau tidak
mengirimkan surat undangan/kartu pemilih pada orang-orang yang
diindentifikasi lawan politik adalah sering terjadi. Maka jangan sampai
hak politik Anda dihilangkan oleh praktek-praktek semacam ini.
3. Pemilih Ganda
Dalam beberapa pemilu, kadang tim
sukses calon menggunakan pemilih siluman atau pemilih berulang kali
coblos. Di sini pentingnya saksi dari masing-masing calon, untuk
mengecek kualitas tinta, apakah bisa dihilangkan dengan mudah atau tidak
(bisa jadi tinta dari KPUD ditukar). Juga mengecek daftar hadir, bahwa
yang hadir sesuai undangan atau ada tambahan pemilih dari wilayah lain.
4. Pengrusakan Surat Suara
Praktek ini biasa dilakukan
terhadap surat suara dari pihak lawan politik, dirusak misalnya dengan
kuku jari ketika membuka lembaran suara. Ini sangat tergantung orientasi
politik dari KPPS atau petugas TPS setempat. Setiap orang boleh saja
punya sikap politik, tetapi sebagai petugas TPS tidak boleh berbuat
curang. Maka tugas saksi maupun warga (penonton) untuk benar-benar
mengawasi ketika petugas membuka lembaran surat suara.
5. Manipulasi Hasil Suara
Nah, ini yang sering terjadi, karena
manipulasi suara dapat dilakukan di beberapa tahap. Misalnya ketika
penghitungan suara di papan selesai dan akan direkap pada formulir C1,
ada peluang dimanipulasi angkanya. Maka saksi maupun warga yang menonton
mesti perhatikan benar ketika direkap (biasanya di akhir penghitungan
energinya sudah capek, konsentrasi berkurang, ini peluang untuk
manipulasi). Peluang berikutnya adalah manipulasi ketika penghitungan
ulang/rekap ulang di kelurahan. DI sini saksi dari masing-masing calon
mesti hadir untuk mengawal prosesnya. Perjalanan berikutnya adalah
ketika rekap suara di tingkat kecamatan, kota maupun KPUD, dimungkinkan
juga pengurangan atau penambahan suara pada calon tertentu. Tetapi ini
bisa diminimalisir ketika setiap saksi memegang C1 atau berita acara
maupun mengawal prosesnya sampai ke KPUD. (
Mhd Khairuddin
REKRUTMEN KPU-BAWASLU
REKRUTMEN KPU-BAWASLU
JAKARTA
(Suara Karya): Sejumlah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengikuti seleksi pemilihan calon
penyelenggara pemilu untuk periode 2012-2017, gagal dalam seleksi tahap
kedua.
Dalam pengumuman hasil seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu
yang disampaikan Tim Seleksi, di Jakarta, Senin (6/2), nama-nama
anggota KPU yang mengikuti seleksi seperti I Gusti Putu Artha, Saut
Sirait, dan Sri Nuryanti, tidak masuk dalam daftar nama-nama calon yang
lolos seleksi tahap kedua. Selain itu, sejumlah anggota
Bawaslu yang juga mengikuti seleksi seperti Bambang Eka Cahya Widodo
yang merupakan Ketua Bawaslu, Nur Hidayat Sardini, Wahidah Suaib, dan
Agustiani Tio Fridelina Sitorus, juga tak lolos. Soal alasan
anggota KPU dan Bawaslu tersebut tidak lolos, anggota Timsel Ramlan
Surbakti menjelaskan, itu disebabkan mereka tak memenuhi syarat
integritas, atau kesehatan, atau psikologi. Ketika ditanya
lebih lanjut soal syarat integritas yang dimaksud, Ramlan menjelaskan
penilaian terhadap integritas terkait kejujuran, ketaatan pada hukum,
dan konsisten. "Setiap orang lain-lain alasannya sehingga tidak lolos.
Ini kita lihat secara individual, kita tidak mengelompokkan `incumbent`
dan tidak `incumbent`," katanya. Menambahkan penjelasan
Ramlan, anggota Tim Seleksi Anies Baswedan mengatakan, dalam proses
penilaian, tim melakukan penilaian secara objektif dan sama untuk
setiap peserta, tidak dibeda-bedakan antara calon yang merupakan
penyelenggara pemilu atau tidak. Anggota timsel lainnya Saldi
Isra, mengatakan, tim melakukan penilaian akumulasi dari seleksi tahap
kedua berupa tes tertulis, kesehatan, dan psikologi ditambah dengan
penilaian makalah personal, rekam jejak, serta masukan dari masyarakat. "Kita di timsel posisinya berdasarkan kriteria, tidak ada urusan dengan `incumbent` atau tidak," katanya.
Calon Lolos Sementara itu, Timsel
mengumumkan total 48 calon lolos, yakni anggota KPU 30 orang dan
Bawaslu 18 orang. Para peserta yang lolos, selanjutnya mengikuti tes
wawancara yang akan diselenggarakan pada 13 sampai 18 Februari 2012. Timsel
akan memilih 10 nama calon anggota Bawaslu dan 14 nama calon anggota
KPU terbaik dari hasil seleksi untuk diserakan kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada 24 Februari 2012. Kemudian, Presiden
akan menyampaikan nama-nama calon tersebut ke DPR untuk dilakukan uji
kelayakan dan kepatutan. Proses pemilihan di DPR dijadwalkan selama
satu bulan, yakni Maret 2012. Pada awal April diharapkan DPR
telah menyampaikan nama-nama KPU dan Bawaslu terpilih kepada Presiden,
untuk kemudian dilantik pada 9 April 2012. Ramlan Surbakti
mengatakan, untuk sampai pada keputusan menetapkan 18 nama calon
anggota Bawaslu yang lolos seleksi tahap kedua ini, tidak mudah. Sebelumnya,
pada 17 Januari, calon anggota KPU dan Bawaslu menjalani tes tertulis
tentang kepemiluan, dilanjutkan dengan tes kesehatan dan psikologi.
Para calon juga diharuskan menulis makalah pribadi yang menjadi bahan
penilaian bagi Timsel. "Kami sampai pada keputusan yang tidak
mudah. Untuk Bawaslu, dari 61 peserta yang mengikuti seleksi, yang lolos
18 orang dimana 5 orang di antaranya adalah perempuan," kata Ramlan. Sementara
itu, nama-nama calon anggota Bawaslu yang lolos seleksi tahap kedua
yakni Muhammad, Ardyan, Endang Wihdatiningtyas, Mahi M. Hikmat, A. Heri
Joko Setyo, Daniel Zuchron, Razaki Persada, Agus Triyatno, dan Nelson
Simanjuntak. Selanjutnya,
Sunny Ummul Firdaus, Nasrullah, Unang Margana, Refly Harun, Den
Yealta, Pramono Ubaid Tantowi, Pipit Apriani, Ratna Mulya Madurani, dan
Luky Djuniardi Djani. (Tri Handayani)
mhd khairuddin
mhd khairuddin
Langganan:
Postingan (Atom)