"Pemilu tidak bersih!". Wah ada apa? Jika pernyataan itu keluar dari
mulut rakyat kecil di warung kopi barangkali sudah biasa. Namun
bagaimana jika pernyataan itu terlontar dari mulut seorang Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD?
Beberapa hari yang lalu,
Mahfud MD memang mengeluarkan pernyataan yang berbunyi, "Anda jangan
mimpi bahwa pemilu itu akan bersih 100 persen, kapan pun dan di mana
pun. Pasti ada satu atau dua, maka di undang-undang itu disebut,
pelanggaran yang signifikan terhadap angka", sebagaimana dikutip dari
berita online, okezone.com (11/7/2011).
Kecurangan pemilu sendiri
sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Masyarakat sendiri menyaksikan
dan merasakan kecurangan-kecurangan itu secara nyata. Para peserta
pemilu yang kebetulan kalah pun juga kadang melaporkan adanya kecurangan
dalam pemilu. Meski peserta yang kalah juga melakukan kecurangan.
Singkatnya, kecurangan dalam pemilu sudah menjadi rahasia umum.
Pernyataan
dari Mahfud MD sendiri dapatlah mempertegas bahwa pemilu lima tahunan
selama ini jauh dari kejujuran dan kata bersih. Hanya sebuah mimpi, kata
beliau, jika mengharap pemilu 100 persen bersih dan jujur. Sebabnya,
kecurangan pemilu dilakukan oleh samua partai secara random.
Kecurangan
pemilu yang umum terjadi dilakukan dengan memanipulasi daftar pemilih
tetap, serangan fajar, hingga saat penghitungan suara.
Kecurangan-kecurangan ini kerap terjadi baik pada pemilukada, maupun
pemilu legislatif dan eksekutif tingkat nasional. Apalagi kasus
pemalsuan keputusan MK yang terkuak belakangan ini kian menambah
keraguan terhadap kualitas pemilu yang selama ini berlangsung.
Pemilu Demokrasi yang Korup
Dalam
perpolitikan sekuler, kecurangan demi kecurangan yang ada dapat
dikatakan hal yang wajar dan dimaklumi. Sebabnya sedikit sekali
mengedepankan etika politik. Doktrin Machiaveli agar meraih dan
mempertahankan kekuasaan dengan segala cara masih menjadi acuan di alam
perpolitikan sekuler. Tanpa terkecuali untuk memenangkan pemilu.
Apalagi
dalam sistem demokrasi, biaya (modal) besar harus dikeluarkan oleh
peserta pemilu jika ingin menang. Dari sinilah kemudian tunas korupsi
mulai tumbuh. Biaya yang besar itu sendiri bisa diperoleh dari
pemodal-pemodal dengan deal-deal tertentu kalau berhasil menang. Bahkan
dari negara atau lembaga asing sekalipun, seperti desas-desus belakangan
terkait Sri Mulyani.
Selanjutnya kalau berhasil menang,
deal-deal atau proyek hitam pun disikat. Tak mengapa tidak amanah, toh
itu akad dengan pemodal. Korupsi? Tak apa-apa haram, asalkan modal
kampanye kembali. Lha gimana lagi kalau gaji selama lima tahun belum
cukup kembalikan modal. Lho?
�
Ketidakjujuran selama pemilu pun
berimbas ketika para pemenang pemilu menempati kursi pemerintahan.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para anggota legislatif dan kepala
pemerintahan daerah menjadi buktinya. Peneliti korupsi politik ICW,
Abdullah Dahlan mengungkapkan, kasus-kasus korupsi yang melibatkan
politisi dalam suatu pembangunan proyek ini sudah dirancang atau 'by
design' oleh partai politik.
Bagaimana output pemilu yang ada?
Kontribusi 'orang-orang terpilih' yang disaring melalui pemilu bagi
rakyat? Ternyata tidak juga menggembirakan. Dari gedung wakil rakyat
misalnya, sejak era reformasi hingga sekarang telah lahir 76
undang-undang yang berlaku sekarang ternyata dibuat oleh konsultan asing
seperti IMF, Bank Dunia dan USAID. Dengan kata lain, para anggota
legislatif hanya tinggal setujui saja. Tidak sedikit dari peraturan dan
UU yang dibuat kontrapoduktif dengan cita-cita negara. Bahkan hingga
Juni kemarin ada sekitar 158 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi (antaranews, 25/6/2011)
Padahal dana
pemilu menyita biaya yang begitu besar agar memiliki penyelenggara
negara yang handal. Padahal rakyat pun sudah capek bergumul dengan
problematika seperti kemiskinan, pengangguran, putus sekolah dsb. Tetapi
ternyata? Pemilu dalam sistem demokrasi yang menagih biaya besarlah
penyebabnya. Demokrasi seperti kata Samuel Huntington (1998) tidaklah
selalu menjadi pilihan terbaik, karena ia dapat menimbulkan inefisiensi
dan ketidakpastian.
Persoalannya adalah apakah kecurangan pemilu
yang terjadi dimaklumi begitu saja? Sehingga jika ke depan kerap kali
terulang, pemilu yang curang tetap (harus) dimaklumi (lagi). Kalau
begitu bagaimana kita bisa memiliki penyelenggara negara yang amanah,
bila dalam pemilunya saja sudah dipenuhi kecurangan. Padahal selama ini
kita begitu mendambakan aparat-aparat pemerintahan yang kapabel, dan
amanah.
Pemilu memang tidak masalah, tetapi orientasi 'haus
kekuasaan' itulah yang menjadi penyebabnya. Sekali lagi, kita tidak
menyalahkan pemilu sebagai sebuah cara rekrutmen penyelenggara negara.
Sebabnya dalam Islam pun mekanisme pemilihan/rekrutmen penyelenggara
negara dengan pemilu juga ada.
Hal yang kita sayangkan adalah
ketika kekuasaan dijadikan tujuan. Sehingga ketika duduk empuk di kursi
kekuasaan, tugas mengurus rakyat pun terabaikan. Bahkan kekuasaan dapat
membuat lupa diri, lupa rakyat, bahkan lupa iman. Sampai-sampai
penjajahan gaya baru pun diperkenankan masuk dan mengobrak-abrik
kedaulatan negara dari sebagaimana mestinya.
Para pembaca tentu
pernah mendengar jingle iklan sebuah deterjen yang berbunyi "Kotor itu
baik". Tentu kedengaran konyolnya ketika menilai pemilu yang tidak
bersih dengan mengatakan "Pemilu tidak bersih itu baik". Sangat miris
sekali.
Bagaimana juga, (kecurangan) pemilu tidak lepas dari
sistem demokrasi yang berlaku sekarang. Menarik melihat pertanyaan
mendiang Ignatius Wibowo mengenai demokrasi. Beliau meragukan validitas
teori bahwa demokrasi adalah penyelamat segala bentuk kebobrokan di
Indonesia saat ini pun patut diperhatikan oleh semua pihak. Bahkan
ungkap Ignatius, demokrasi malah memunculkan masalah baru yang
sebelumnya tidak pernah ada seandainya demokrasi tidak diterapkan.
Apalah
ternyata, demokrasi yang digadang-gadang mampu menjadi solusi ternyata
tidak manjur. Bahkan jauh panggang dari api. Demokrasi tidak mampu
menjembatani negeri ini ke cita-citanya: mensejahterakan rakyat dan
melindungi negara dari penjajahan yang dalam bahasa BJ. Habibie, 'VOC
berbaju baru'. (Fadlan Hidayat)
mhd khairuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar